Mumi Wamena mungkin tidak sekondang mumi para Firaun Mesir. Namun, sensasinya
tak kalah kuat. Pengunjung bisa melihat mumi berusia
ratusan tahun tersebut yang
bentuk beberapa organ tubuhnya masih tampak jelas itu. Misalnya,
Mumi Wim Motok Mabel di Desa Yiwika, Distrik Kurulu, Wamena, Papua.
Untuk mencapai Wamena, pengunjung dari luar Papua
harus transit dulu di Bandara Sentani, Jayapura. Dari Sentani, kita harus
menggunakan pesawat udara lagi. Sebab, sampai saat ini jalur udara adalah satu-satunya cara yang bisa ditempuh untuk mencapai Wamena. Tapi, mendapatkannya tidak mudah. Maklum, pesawat
yang tersedia terbatas.
Setelah dapat tiket pun, belum bisa dipastikan kita
akan sampai di Wamena. Masih ada penentu lain. Cuaca. Untuk mencapai Wamena,
pesawat harus melalui celah di antara dua bukit. “Bila cuaca sedang tidak bagus
sehingga celah itu berkabut, pesawat biasanya kembali ke Bandara Sentani,”
tutur seorang calon penumpang di Bandara Sentani. Mendebarkan? Mereka yang
gemar bertualang mungkin menganggapnya mengasyikkan.
Tiba di Bandara Wamena, tinggal pilih, mau langsung ke
perkampungan tempat mumi berada atau beristirahat dulu. Bila mau langsung menuju lokasi, kita bisa
memanfaatkan jasa taksi bandara. Bila pengunjung ingin beristrahat dulu, di sekitar Bandara ada hotel
dan penginapan.
Perkampungan mumi di Distrik Kurulu, Jaya Wijaya,
berjarak sekitar 30 kilometer atau 25 menit perjalanan dari Kota Wamena.
Sepanjang perjalanan, mata seolah dimanjakan dengan pemandangan alam terbuka
yang berbukit-bukit dan menawan.
Setelah 25 menit perjalanan, sampailah kita tiba di
kampung mumi. Di bagian depan
perkampungan ada pintu masuk yang hanya dibuka saat ada tamu. Begitu kami masuk halaman perkampungan, mereka
langsung menyambut kami dengan ramah. Yang perempuan mengenakan sali (rok dari
kulit kayu), sedangkan yang laki-laki memakai koteka. Kesan primitif sangat
terasa. Menurut informasi, mereka sebetulnya sudah menggunakan pakaian seperti
kita sehari-hari. Sali dan koteka hanya digunakan jika ada pengunjung yang datang.
Lingkungan di perkampungan itu juga masih terkesan
alami. Di kiri kanan tampak honai, rumah tempat warga tinggal. Di salah satu
honai itulah mumi Wim Motok Mabel disimpan. Untuk bisa melihat mumi harus negosiasi dulu sebelum
mereka mau mengeluarkan mumi tersebut dari honai. Biasanya
pengunjung harus memberi uang sebagai biaya perawatan.
Menurut Batu Logo, salah seorang warga yang tinggal di
perkampungan tersebut, Mumi Wim Motok Mabel adalah generasi ketujuh. Usianya
saat ini 368 tahun. “Dia (Wim Motok Mabel, Red) adalah kepala suku perang.
Menurut cerita orang tua kami, sebelum meninggal beliau berpesan agar mayatnya
tidak dibakar. Beliau minta mayatnya diawetkan agar jasadnya bisa dilihat
generasi berikutnya,” kata Batu Logo.
Meski telah berusia 368 tahun, sebagian bentuk tubuh
mumi itu masih sangat jelas. Terutama kepala, badan, dan kaki. Bahkan,
kotekanya pun masih terlihat. “Untuk menjaga agar tidak rusak termakan usia,
mumi itu dirawat secara tradisional dengan pengasapan dan pengolesan lemak babi
ke seluruh tubuh mumi” terang Batu Logo. Dengan memberi tambahan uang perawatan, pengunjung diperbolehkan berfoto bersama Mumi.
Di depan salah satu honai, tampak pondok yang memajang hasil
kerajinan tangan warga. Koteka berbagai jenis dan ukuran terlihat bergantungan
di sana. Ada juga noken, kalung, gelang, dan beragam kerajinan tangan lain.
Harganya juga bervariasi, mulai dari Rp 50 ribu hingga ratusan ribu
rupiah.
Biaya per 2010:
- Tiket pesawat Jayapura-Wamena : Rp 880.000
- Taxi bandara : Rp 100.000/ jam atau Rp 800.000/ hari
- Hotel sekitar bandara : Rp. 250.000/ hari
- Mengeluarkan mumi : nego
- Berfoto dengan mumi : nego
- Berfoto dengan warga yang menggunakan sali dan atau koteka : Rp 5.000/ orang/ jepret
- Cinderamata Rp. 50.000 s/d ratusan ribu rupiah.
Papua adalah surganya pariwisata.
Source: www.takunik.blogspot.com/